Kamis, 12 April 2012

T E T U K O (seri satu)

Sebetulnya saya mau langsung nulis tentang apa itu pleci, tapi ijinkan saya untuk mengulas tetap dari pandangan hidup saya, kejawen. Pleci adalah sejenis burung, dalam kejawen burung dikenal dengan nama tetuko. Bahkan dalam sosiokultural masyarakat jawa burung menempati derajat yang sangat tinggi, hal ini dapat dilihat di tiap kota, selain adanya pasar gede, yang menjual kebutuhan hidup sehari hari, juga ditemukan adanya pasar manuk (burung). Bahkan beberapa kota yang tidak memungkinkan adanya tempat untuk pasar burung maka burung akan diperjualbelikan pada hari hari tertentu, semisal pahing atau wage. Ini membuktikan dalam sosiokultural masyarakat jawa dikenal adanya tetuko, ingon-ingon, yang menempati derajat yang tidak rendah.

Sementara itu dalam kosmologi kejawen, seorang pria jawa akan dikatakan sempurna bila telah memiliki wismo, tahto, wanito, turonggo, lan tetuko. Kalo wismo sudah jelas lah itu adalah rumah, tahto lan wanito jelas sekali dia memiliki jabatan dalam kemasyarakatan dan istri yang mendampinginya, sementara itu turonggo sudah jelas dalam menunjang kewibawaannya maka seorang priyayi jawa haruslah menunggang kuda, yah kalo boleh saat ini saya qias kan kepada mobil atau motor. Nah pertanyaan menyeruak kenapa ada tetuko disitu, burung. Apakah burung disini merupakan sanepo atau perumpamaan, saya coba untuk mencari ke beberpaa orang sepuh tentang sanepo dalam hal ini. Jawabannya adalah bukan pada saneponya, tapi kondisi real dari apa itu tetuko, ya seorang priyayi jawa harus memiliki burung peliharaan.

Pasti semuanya merujuk ke perkutut atau kutut, entah itu kutut putih, kutut kol buntet, kutut udan mas ataupun kutut buntel mayit.

Bukan, tetuko yang saya telusuri disini bukan hanya perkutut, karna memang ada beberapa kosmologi dalam tetuko yang menutupi beberapa kepemilikan dari seorang priyayi. Suatu saat saya datang ke tempat seorang bangsawan solo, didepan rumahnya ada dua sangkar, satu sangakr di sisi kiri berisi perkutut kol buntet sementara di sisi kanan berisi jalak suren. Saat saya tanya kepada guru saya, kenapa ada jalak suren disitu, sang guru langsung menjawab, sang bangsawan memiliki tombak dengan kalacakra atau rajah. Kala lain saya mengantar guru saya datang di daerah Prawirotaman Jogjakarta, disana lagi2 didepan rumah sang pejabat terdapat dua sangkar, satu sangkar berisi prenjak sementara sangkar yang lain berisi pentet, ketika saya tanyakan kepada sang guru tentang kedua tetuko tersebut maka sang guru langsung menjawab si pejabat memiliki pusaka dengan pamor udan mas dan pamengkang jagad.

Lha kok bisa........

Setelah saya telusuri maka ternyata ada keterkaitan tentang jodoh. Jodoh antara pusaka dengan tetuko, dan kenapa harus tetuko, kenapa bukan ulo atau yang lainnya. Hal ini lebih dikarenakan burung merupakan suatu manifestasi kebebasan dari hewan itu tuk pergi kemana saja berada. Manifestasi inilah yang memicu adanya pengendalian. Jalak suren untuk keris berdapur jalak sangu tumpeng, pleci untuk tombak berpamor tempel dan lain sebagainya. Pada sisi inilah dikenal adanya burung tutup pusaka, sehingga kita akan mengenal pusaka apa yang dimiliki dari tetuko apa yang dia pelihara.

Pada dataran jiwa, seseorang yang memelihara burung akan merasa dirinya dapat mengendalikan si burung dalam sangkar tersebut, apapun itu, mulai dari pakan, minum, pakan tambahan bahkan tempat berjemur dan mandi si burung tersebut. Inilah yang disebut oleh beberapa penganut kejawen bahwa beninging ati pindah neng beninging tetuko. Artinya seseorang yang memiliki hati bersih maka si burung peliharaannya akan menampilkan performa yang sangat bagus, begitu pula sebaliknya. Sehingga banyak kita jumpai bahwa si burung A dengan jenis yang sama di tempat saya tidak berbunyi bagus akan tetapi di tempat teman saya akan berkicau dengan merdunya. Inilah bukti bahwa beningnya jiwa akan berpindah kepada beningnya burung, walaupun beberapa aliran kejawen mengedepankan tayuhan untuk tetuko ini, layaknya pada wisma, wanita, tahta, dan turanggo.

Sekarang dimanakah posisi kita untuk tetuko ini, menyenangi, mengagumi, atau bahkan antipati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar