Selasa, 02 Juni 2009

mega 'bukan' orang jawa

Awalannya adalah cukup sederhana, bagaimana mereka bersalaman. Tapi coba lihat, berapa pasang mata yang menantikan hal tersebut, hampir separo lebih masyarakat Indonesia menantikan mereka bersalaman.


Telah lupa dari ingatan kita, kapan mereka berseteru, sebab memang masih banyak masalah dinegeri ini yang membutuhkan perhatian kita. Tapi benar apa yang disebut sebagai politisi memang susah sekali kita tebak, kadang teman kadang musuh, kadang saudara kadang lawan, tapi tidak dengan mereka. Semenjak lima tahun lalu keduanya memang telah menempatkan dirinya sebagai lawan dan rival, minimal tidak saling tegur dan sapa semenjak itu, ya lima tahun yang lalu.


Perseteruan ini berlanjut ketika Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden menyingkirkan beliau, Megawati Sukarnoputri. Tapi kemarin sabtu pagi, dua tangan dingin tersebut saling bersalaman,ya hanya beberapa detik saja. Tanpa kita bermaksud menyudutkan seseorang maka kita coba lihat secara keseluruhan apa yang diatur dalam benak orang Jawa.


Di jawa dikenal istilah ‘ngalah’(:baca mengalah) sebetulnya penulisan yang benar adalah ‘ngaALLAH’ (:baca mengalah Jw). Tentu saja keduanya berbeda, ngalah dengan komposisi pertama yaitu orang yang benar-benar kalah dalam suatu pertarungan. Hal ini berbeda dengan ngalah pada konsepsi kedua, ngalah pada konsepsi ini adalah mengikuti jalannya dimana jalan yang mengajarkan kita bertindak dan tanduk seperti layaknya DIA yang ada disana dan maha benar.


Tidak ada kemenangan yang hakiki selain darinya dan tidak ada kekalahan yang hakiki selain karenaNYA. Dalam konsepsi kedua diajarkan pula bahwa siapapun tidak pantas untuk bejalan dimuka bumi ini dengan kesombongan sehingga tidak ada kekalahan yang hakiki hanya dikarenakan seorang/sebuah ciptaanNYA, tapi malah sebaliknya. Kekalahan ini malah diartikan suatu kerendahan hati sebuah makhluk kepada makhluk lainnya, itu yang utama.


SBY yang mendekat kepada Megawati pada saat di KPU merupakan suatu pertanda pemahaman tentang siapa sebenarnya yang memahami adat dan tradisi Jawa seceara penuh. Bahkan ini dilakukan oleh seorang presiden sekalipun, dia dating dan menyalami Megawati adalah suatu pelajaran besar yang seringkali dicontohkan oleh beberapa orang besar di Jawa seperti layaknya Panembahan Senopati yang sedang merantau. Dibutuhkan suatu kebesaran jiwa yang mantap ketika seorang pemimpin bangsa yang ‘dibenci’ oleh orang umum dan dia yang mendatangi lebih dahulu, sebuah pemahan yang besar.


Walau banyak pengamat politik yang mengatakan Megawati pada posisi yang baik pada saat itu, tapi kejawen mengatakan nol besar untuk Megawati yang menyandang nama besar sang ayah Soekarno. Soekarno muda selalu menjalani apa itu yang disebut kejawen hingga akhirnya dia menghentikan laku kejawennya ketika seorang Suharto muda menjalani laku yang sama, sehingga dia rela diasingkan di wisma Yaso saat itu. Meskipun dia memiliki kekuatan untuk lakukan sesuatu kepada anak sekecil Suharto saat itu, tapi tidak dia lakukan hanya karena pertimbahangan kematangan hati sang proklamator, bahwa waktunya telah habis dan Suhartolah sang pengganti.


Suatu pemahaman yang hebat dari seorang Soekarno saat itu, hal yang sama dilakukan oleh SBY sabtu pagi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar