Jumat, 11 September 2015

.......belajar dari gule balungan

Huft, gak bis tidur......

Kalo dah gini biasanya pake baju seadanya, cari kunci motor dan mulai "patroli" cari kulineran malam di kota lumpia ini. Untungnya kulineran tengah malam di kota ini gak sebanyak Jogja atau Solo, yg malah kulinerannya dimulai pada tengah malam, jadi inget gudeg ceker di Solo nie. Kalo malam gini di Semarang paling rame ya di depan E Plaza itu, deretan food court dengan angin malam yg sadis. 

Gak kalah ngeri nya yg disajikan kalo malam gini ketemunya ya rumah makan padang atau sop kaki kambing. Wah jelas jelas full kolesterol nie, tp kalo gak sering sering gak masalah kan. Walau masih ada "mbok sador" tp kalo makan pecel tengah malam gini gak asik, yg asik ya daging dagingan nie. Varian masakan daging kambing tuh sangat beragam ya, mulai dari sate (daging atau campur jeroan), gule (mulai dari gule kepala, gule balungan, gule daging, gule jeroan atau gule campur), tongseng (hampir sama dengan gule tapi dimasak lagi), sop kaki kambing, balungan, sumsum dan tengkleng.

Bayangin aja, dari kaki hingga kepala, dari daging hingga telinga kambing semua dimasak lalu dimakan, gak tanggung tanggung, harga jual juga lumayan. Lha dulunya gimana ?

Saya rasa awalannya adalah pemanfaatan daging yg diolah menjadi sate, gule atau tongseng. Akan tetapi aktivitas dari pengambilan daging ini mengakibatkan tulang yg tidak termanfaatkan. Dan dari titik inilah tulang banyak dibeli oleh golongan bawah tuk diolah dan dimasak sebagaimana sehingga enak dimakan, sialnya memang enak, ditambah tekstur daging yg dekat tulang sangat berbeda dengan tekstur daging yg lain. Keberhasilan pemanfaatan inilah akhirnya masakan tulang kambing kembali naek derajat dan tidak lagi merupakan masakan sisa, bahkan inilah masakan utama yg dikemas di dalam kendi dari tamah liat.

Lha kalo tulangnya aja jadi mahal maka daya beli orang miskin makin rendah kepada unsur kambing yg ada. Inilah sanepo, perumpamaan, orang jawa bilang, "lha nek balung wis dipangan wong sugih, trus wong mlarat kon mangan opo, balung ra mampu tuku po meneh daging". Tengkleng menjadi sebuah pelajaran bagi kita bagaimana porsi hidup itu kita jalani.

Cobalah berbagi, hadir dalam setiap kegiatan itu memang bagus, memberi ruang gerak kepada orang lain itu lebih baek. Karna kita bukan supermen, yg bisa mencukupi segalanya, sekaya kayanya kita, semampu mampunya kita atau sepintar pintar nya kita, kita tetap butuh pak tani utk menanam padi, tukang slep beras tuk bersihkan beras kita dari kulitnya, sopir pick up tuk bawa tuh beras ke kota kita tinggal, dan akhirnya kita beli dan masak tuk kita makan. Berapakah puluh orang yg terlibat dalam menyiapkan sepiring nasi yg kita makan di pagi hari, semuanya ada di peran masing masing.

Kembali kita belajar pada kuliner, bagaimana tengkleng yg sudah masuk kedalam gedong gedong mewah dan meninggalkan gubug gubug reyot. Ayo berbagi dan belajarlah dari apa yg ada di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar